cari

Jumat, 24 Oktober 2008

Pelajaran berharga untuk dipelajari saat ini dari konflik di Sudan

Sudan mungkin sejak lama dilupakan oleh masyarakat dunia jika tak terjadi
konflik di Darfur. Beberapa waktu lalu, saat turut berpartisipasi dalam
konferensi di luar negri, saya memiliki kesempatan berjumpa dengan seorang
profesor dari barat yang diutus oleh PBB untuk membantu menyelesaikan
sengketa di Darfur.

Sang profesor, seorang ahli masalah Sudan, tak habis pikir, "Orang-orang
yang bertikai di Darfur itu semuanya Muslim, bahkan mereka berasal dari
sekte yang satu dan sama pula."

PBB memperkirakan konflik tersebut telah menyebabkan 500.000 nyawa melayang
akibat tindak kekerasan dan wabah penyakit dalam rentang waktu kurang dari 5
tahun. Bahkan dari pihak LSM menyatakan bahwa jumlah korban meninggal
setidaknya 2 kali lipat dari yang perkiraan PBB. Jutaan orang mati sia-sia.

Kekeringan dianggap sebagai salah satu penyebab utama konflik di Darfur.
Penduduk lokal Baggara dari Darfur terpaksa memindahkan peternakannya ke
arah selatan. Di daerah yang dikuasai oleh komunitas peternak kulit hitam
Afrika.

Rivalitas dan kompetisi antara kedua komuntas tersebut memicu terjadinya
konflik di Darfur. "Sekarang," ujar Sang profesor, "tak jelas siapa
berperang melawan siapa. Orang-orang yang berasal dari komunitas yang sama
bisa saling bunuh-membunuh hanya demi sepetak tanah dan sebuah sumur."

Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon menganggap pemanasan global sebagai
penyebab konflik di Darfur.

Tapi, pertanyaan pokoknya ialah: Apakah Sudan, di seluruh dunia,
satu-satunya negara yang menderita kekeringan? Jawabannya: Tidak. Jadi,
konflik di sana sama sekali tak masuk di akal.

Rakyat Sudan, di bawah pemerintahan Presiden Omar al-Bashir, bukanlah negara
demokratis. Pejabat yang tak populis ini telah dihukum karena kejahatan
perang melawan rakyatnya sendiri oleh Dewan Kriminal Internasional.

Anehnya, ketika hakim Luis Moreno-Ocampo meminta kepada anggota Dewan yang
sama untuk mengeluarkan surat penahanan terhadap al Bashir, ia justru
dikritik habis-habisan. Siapa para pengkritiknya? Kenapa mereka membela si
diktator dan bukannya memihak rakyat Sudan? Apa kepentingan mereka?

Baru-baru ini, Sudan dilaporkan menyewakan lebih dari 800.00 hektar tanahnya
yang paling subur kepada Saudi. Mengikuti kerajaan yang memimpin monarki
kaya minyak tersebut, beberapa negara Teluk, termasuk Mesir, sedang dalam
proses meneken kesepakatan serupa. Diharapkan ratusan ribu hektar tanah
lainnya akan segera disewakan pada akhir tahun ini.

Masa kontraknya mencapai 99 tahun. Paling tidak dua generasi rakyat Sudan
akan hidup menderita karena keputusan yang dibuat oleh pemimpinnya tersebut.

Sudan tak terserang kekeringan separah yang kita bayangkan. Sudan masih
memiliki banyak daerah subur, yang tanahnya bisa diolah untuk kepentingan
masyarakat di Darfur dan tempat-tempat lainnya. Ironisnya, pemerintah Sudan
tak tertarik melakukan hal tersebut. Mereka lebih suka menyewakan tanah pada
Arab. Masyarakat internasional, termasuk Paman Sam kita tercinta dan
koleganya tetap diam menyikapi masalah ini.

Pertambahan penduduk yang begitu cepat di daerah Teluk, kelangkaan air, dan
inflasi harga pangan memaksa Arab untuk mengembangkan pertanian di luar
negri. Tak hanya di Sudan, tapi juga di negara-negara lain, Pakistan juga
menjadi salah satu targetnya.

Berdasarkan laporan dari Komoditi Online, inflasi di Saudi telah menyebabkan
masyarakat diam (apatis); ini ancaman bagi pihak monarki, yang di atas
segalanya sangat takut pada revolusi.

Menurut data dari *think tank* Pusat Penelitian Teluk di Dubai, Arab Saudi
membutuhkan 1.212 meter kubik air tanah hanya untuk memproduksi 1 ton
barley. Hal ini menyebabkan Saudi tak memiliki pilihan lain selain berhenti
mengolah tanah di wilayahnya sendiri. Mereka musti mencari sumber pasokan
pangan di tempat lain.

Tak banyak dari kita yang tahu bahwa inflasi di kerajaan tersebut mencapai
angka 10,6 persen pada bulan Juni lalu. Alasannya: harga kebutuhan pangan
melonjak.

Situasi di negara-negara Teluk lainnya tak lebih baik, karena 60 persen
bahan pangan mereka pun harus diimpor. Kita juga banyak yang tak tahu bahwa
di Uni Emirat Arab sana hanya 1 persen lahan yang bisa ditanami, sedangkan
di Arab Saudi sedikit lebih baik, angkanya mencapai 3 persen.

Daerah Teluk memang tak kondusif untuk mengembangkan pertanian, sehingga
masyarakat di sana sangat tergantung pada bahan pangan impor, mereka mampu
membeli di pasar bebas dengan harga internasional tanpa banyak kesulitan.

"Tetapi, kalau di masa depan minyak dan sumber alam lainnya habis, maka
daerah ini tak akan bisa mempertahankan tingkat ketergantungan pada
persediaan bahan pangan dari luar tersebut," ujar Shoaib Ismail, seorang
agronomis kondang yang tergabung dalam Internasional Center for Biosaline
Agriculture di Dubai saat diwawancarai oleh Inter Press Service.

Ismail juga mengatakan bahwa negara-negara Teluk telah bekerjasama dengan
negara-negara berkembang yang memiliki budaya, agama, dan latar belakang
politik yang sama, dan dengan mereka pula sudah meneken kesepakatan jangka
panjang. Ditambahkan, "Mereka dapat memperoleh bahan mentah dengan harga
yang relatif murah, dan ini bisa mengurangi ketergantungan pada
negara-negara barat…"

Mari kita membaca tulisan di atas dinding. Apa yang sebenarnya terjadi di
balik konflik Darfur? Pada 1970-an negara-negara Teluk tak berhasil
percobaannya untuk merubah Sudan menjadi keranjang makanan mereka setelah
Amerika mengancam hendak menghentikan pasokan makanan serta memboikot produk
minyak. Saat itu mereka gagal, sekarang mereka berhasil.

Sekarang, apa sebenarnya yang terjadi di balik konflik-konflik di negara
kita ini? Apa sebenarnya yang terjadi ketika para pelaku bom Bali menikmati
status sebagai tamu-tamu negara, RUU porno, dan isu "aliran sesat"?
Pertimbangkan juga meningkatnya kunjungan pejabat kita ke Timur Tengah, dan
petro dollar yang dikucurkan atas nama agama, pendidikan, dan tentu saja
investasi.

Terimakasih kepada ketidaktsadaran kita dan kealpaan pejabat serta pemimpin
kita, pelan-pelan seluruh bangsa dan negara diperbudak baik secara budaya
dan ekonomi. Kekuatan kegelapan dari iblis dan kepentingan pribadi
bekerjasama untuk memecah-belah bangsa ini, sehingga akan lebih mudah bagi
mereka untuk menguasai sumber daya kita. Kita, rakyat Indonesia harus
bangkit dan bersuara lantang melawan kebatilan semacam itu. Dan, waktu untuk
melakukan itu ialah saat ini, atau tidak sama sekali.

Riz-Q May

Tidak ada komentar: